Cerita Rini

 Rini meremas perutnya yang kosong. Sejak siang tadi ia belum sempat makan, terlalu sibuk menyiapkan hidangan lengkap untuk menyambut suaminya yang pulang dari Bandung. Tujuh hari ditinggal Jaka demi melihat proyek peternakan ayam barunya di sana, membuat perempuan itu ingin menyambut kepulangan sang suami dengan makanan favoritnya.
Langkahnya mengarah ke ruang makan. Cahaya lampu neon putih terang menyinari meja panjang berbahan kayu jati yang tertata rapi. Namun, saat Rini membuka tudung saji, jantungnya seperti melompat dari dada.
Kosong. Hanya tersisa kuah sop iga yang nyaris kering dan dua sendok nasi di ujung piring saji. Rendang yang ia masak dengan penuh cinta telah lenyap. Tumis kacang panjang yang ia iris dengan hati-hati sejak pagi pun tak bersisa.


Rini terdiam. Dingin. Matanya menatap kosong meja makan yang telah tandas. Perutnya berontak tapi jauh lebih keras lagi jerit hatinya yang terluka.
Tanpa berkata apa-apa, Rini melangkah cepat ke ruang tamu. Suara tawa pelan terdengar dari sana. Ia menemukan Bu Imah duduk dengan nyaman di sofa biru muda, mengenakan daster batik dan menyandarkan punggung pada bantal empuk. Di sebelahnya, Lilis bersandar manja di lengan Jaka.
“Yang sabar, Lilis. Hanya kamu menantu Ibu yang sesungguhnya. Rini itu gak bisa ngasih cucu, mana cocok dampingi Jaka yang gagah dan kaya sekarang,” ujar Bu Imah sambil menyuap sepotong jeruk.
Lilis menggenggam lengan Jaka. “Iya, Bu… Aku juga gak ngerti kenapa ada wanita segarang dia bisa jadi istri Bang Jaka. Wajahnya galak, kaya tante-tante, bukan istri…”
Rini berdeham keras. “Hrmh.”



Suara itu menggelegar, seperti petir yang menyambar ketenangan pura-pura di ruangan itu. Tiga pasang mata langsung menoleh. Lilis seketika melonggarkan pelukannya dan berpura-pura takut. Jaka menatap istrinya dengan raut terkejut, sementara Bu Imah membenahi letak duduknya.
“Silakan lanjutkan, Bu,” ujar Rini, menyilangkan tangan di dada. “Tadi Ibu bilang saya tua, galak, dan gak pantas jadi istri Jaka. Kenapa berhenti?”
“Saya gak ngomong apa-apa, Rin,” elak Bu Imah cepat, suaranya bergetar.
Rini tersenyum tipis, getir. “Saya dengar semuanya. Perempuan yang anak-anaknya saya sekolahkan, saya biayai… sekarang malah jelek-jelekin saya di rumah saya sendiri.”
“Lilis tadi takut, saya cuma nenangin…” kilah Bu Imah lagi.
“Kalau takut, kenapa gak Ibu ajak pulang ke Bogor aja? Biar lebih tenang.”
“Sudah malam, Rin,” sahut Jaka cepat, “Kasihan Lilis, lagi hamil muda. Jangan capek-capek nanti malah keguguran.”
Rini menajamkan pandangan. “Kenapa gak tinggal di rumah Ibu saja? Menantu kesayangan, masa gak Ibu tampung?”
Jaka menghela napas. “Lilis itu istri saya, Rin. Dia ikut ke mana saya pergi.”
Rini mendesis. “Itu rumah saya. Saya gak izinkan perempuan perusak rumah tangga tinggal di sini.”
“Aku gak ngerebut Bang Jaka!” seru Lilis, matanya mulai berkaca-kaca. “Dia yang datengin aku! Rayu aku! Aku cuma kasihan dia belum punya anak!”
“Kamu tahu dia punya istri?”
Lilis mengangguk pelan. “Tahu. Tapi aku pikir aku bisa bantu dia punya keturunan.”
Rini mencibir. “Katanya kamu temennya Jamila, adik Jaka? Kamu anak kuliahan dong? Masa se-naif itu?”
Lilis langsung menangis. “Aku bukan teman kuliah. Aku temannya dari SMA! Aku kerja di pabriknya Bang Jaka baru setahun ini. Jangan bilang aku bodoh…”
“Rin, sudah, jangan terus-menerus. Kasihan Lilis…” Jaka memotong, mendekat ke istrinya.
Rini menoleh tajam. “Makanannya ke mana, Ja?”
“Eh…” Lilis menyela cepat, “Kami bertiga makan. Aku, Ibu, dan Bang Jaka. Rendangnya enak banget…”
Dada Rini serasa dihantam palu. “Aku masak dari pagi buat nyambut kamu. Aku rindu kamu. Tujuh hari kamu pergi, aku masak makanan favoritmu. Tapi kamu datang bawa istri baru dan habiskan semua makanan itu untuk dia?!”
“Rin, maaf… Tapi kalau kamu bisa hamil…”
“Balikin makananku!” potong Rini tajam.


Bu Imah mendengus. “Dasar pelit. Makanan aja ditagih…”
“Betul. Aku pelit. Tapi pelit yang rela jual tanah warisan bapakku demi modal usaha Jaka, bayarin utang-utang kamu, bahkan ngasih uang jajan Jamila tiap bulan!”
“Percuma berbuat baik kalau gak ikhlas.”
“Selama ini aku ikhlas! Tapi setelah aku tahu kalian mengkhianati aku… aku harus melawan!”
“Cukup!” Jaka maju, menggenggam tangan Rini. “Kamu mau makan apa? Aku pesenin GoFood ya? Sekarang juga.”
Rini mengibaskan tangannya. “Aku bisa pesan sendiri. Aku cuma gak mau lihat wajah perempuan itu lagi di rumah ini.”
Lilis mulai menangis. “Baru sebulan nikah… masa mau dipisahkan…”
“Bawa dia pergi sekarang!” bentak Rini.
“Aku antar Lilis ke Bogor besok pagi, ya? Malam ini biar dia di sini dulu…”
“Kenapa gak ke rumah Ibu kamu aja? Dekat kok, cuma setengah jam.”
Jaka akhirnya menyerah. Ia mengangguk pelan, lalu menggamit tangan Lilis yang pura-pura lemas. Bu Imah ikut berdiri, mengumpat kecil.


Rini hanya diam menatap bagaimana suaminya memperlakukan istri mudanya seperti porselen. Dipapah, dimanja, bahkan dibukakan pintu mobil. Semua itu kontras dengan dirinya dulu saat hamil dan tetap harus kerja, antar jemput Jamila, hingga akhirnya keguguran karena kecelakaan. Jaka tak ada. Bu Imah tak peduli. Dan anak yang mereka tunggu-tunggu itu… hilang.
Rini menutup pintu. Ia kembali ke dapur dan merebus mie. Telur ayam, sawi hijau, dan irisan bawang merah ia masukkan ke dalam rebusan air. Ia duduk di meja makan, menyendok mie tanpa selera.
Sendirian. Hampa. Ayah dan ibunya telah tiada. Jaka adalah satu-satunya keluarganya. Tapi kini… dia yang menusuk punggungnya.
TV menyala, tapi pikirannya kosong.
Lalu suara pintu depan terbuka. Jaka kembali.
“Rin…” Jaka memanggil lembut. “Aku minta maaf. Aku nikahi Lilis secara siri. Kamu tetap istri utama. Di depan orang, dia bukan siapa-siapa. Aku bilang ke Pak RT, dia itu istri temanku…”
Rini mendengus. “Masih pake akal bulus?”
Jaka mendekat. “Seminggu gak tidur sama kamu, aku kangen…”
“Tidurlah sama istri barumu. Jangan jijik-jijikin aku…”
“Kamu gak rindu aku?”
“Bukankah Lilis perlu ditunggui? Dia hamil muda, bukan?”
Jaka diam, tapi matanya berbinar. Dalam hati ia senang. Ia bisa kembali ke Lilis tanpa drama. Namun wajahnya dibuat pura-pura berat hati meninggalkan Rini.
Begitu pintu tertutup, Rini melangkah ke kamar. Ia meraih foto pernikahan mereka di atas nakas. Jemarinya gemetar saat menyentuh pigura. Matanya basah.
Semua perjuangannya—sia-sia.
Pagi menjelang. Rini bangun dengan mata sembap dan rambut kusut. Ia mandi, berdandan sederhana, lalu mengambil ponsel dan menghubungi sahabat lamanya, Andara.
“Dara… aku mau ketemu…”
“Rin? Ya Allah, kamu kelihatan pucat. Kamu sakit?”
“Enggak. Aku cuma… mau ketemu aja.”
“Datang aja ke rumahku, sekarang juga kalau bisa.”
Rini mengenakan jaket, mengeluarkan motor Scoopy dari garasi, dan melaju menuju kawasan elite Pondok Indah.


Perjalanan memakan waktu 40 menit. Sampai di rumah Dara yang besar dan megah, Rini disambut hangat. Dara—cantik, elegan, dan bersahaja—langsung membawanya masuk.
“Kamu udah sarapan?”
Rini menggeleng.
Dara tersenyum. “Aku temenin kamu sarapan, ya? Aku udah makan, tapi makan lagi gak apa-apa.”
Mereka duduk bersama, menyantap bubur ketan hitam dan roti tawar.
Selesai makan, Dara mengajak Rini ke kamar atas. Mereka duduk di balkon yang rindang.
“Sekarang cerita, Rin. Aku siap dengerin…”
Rini menarik napas panjang. Lalu, perlahan, ia mulai membuka luka…
"Jaka... seminggu lalu pamit ke Bandung. Katanya mau cek proyek kandang ayamnya," suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam gumaman isak. "Tahu-tahu pulang-pulang bawa istri baru. Masih muda. Lagi hamil dua bulan."
Andara tertegun. Gelas teh di tangannya berhenti di udara, bibirnya membisu beberapa detik sebelum akhirnya berkata pelan, "Astaga, Rin... kamu serius?"
Rini mengangguk. Air matanya kembali mengalir.
"Padahal kamu yang modalin usaha itu...," Dara menggeleng tak percaya. "Dari awal aku udah bilang, Jaka itu cuma mokondo. Muka doang yang manis, hati busuk."
Rini menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Aku nggak sudi dipoligami, Dar. Jijik rasanya harus berbagi suami. Aku bukan perempuan seputus asa itu."
"Lalu?" Dara mencondongkan tubuh, suaranya lembut tapi tegas. "Kamu mau ceraikan dia?"
Rini terdiam. Lama. Lalu bibirnya bergetar.
"Aku bingung," ucapnya akhirnya. "Dulu saat aku jual tanah Bapak untuk bangun usaha pabrik ayam potong dan perternakannya, aku sudah buat perjanjian dengan Jaka bahwa siapa dulu yang mengajukan gugatan cerai maka hak milik usaha pabrik ayam potong itu akan jatuh ke tangan yang digugat cerai."
Andara menatap Rini penuh empati.
"Jangan buru-buru ambil keputusan cerai," katanya mantap. "Kalau kamu pergi sekarang, itu perempuan malah enak. Kamu yang modalin usaha, dia yang panen. Nggak bisa begitu, Rin."
Rini mengangguk pelan. Matanya menatap kosong.
"Aku harus ngapain, Dar? Aku pengen hidup mereka jadi neraka, tapi... aku nggak tahu harus mulai dari mana."
Andara tersenyum miring. Senyum seorang perempuan yang tahu rasanya dikhianati, tapi juga tahu cara bangkit.


"Langkah pertama: kamu harus kerja lagi. Tampil cantik setiap pagi, pakai heels dan lipstick warna darah. Biar Jaka lihat apa yang dia buang. Biar si Lilis itu terbakar iri lihat kamu lebih sukses."
Rini menoleh cepat, ada cahaya yang mulai kembali di matanya. "Kerja di mana? Aku udah lama banget nggak kerja."
"Tenang aja," sahut Dara santai. "Kamu kerja aja di kantor suamiku. Aku yang urus semua."
Rini mengangguk.
"Oiya, aku juga akan suruh Mas Gala untuk mengurangi atau bahkan men-stop ambil bahan baku ayam dari pabrik Jaka. Biar dia kelabakan," ujar Dara mengangkat alisnya.
Untuk pertama kalinya sejak datang, Rini tersenyum. Tipis, tapi penuh tekad.
"Terima kasih, Dar. Aku janji, hidup mereka berdua nggak akan pernah tenang lagi."

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Cerita Rini"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel